CALISTUNG PEMBELAJARAN : SEJARAH
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bhumi
Mataram adalah sebutan lama untuk Yogyakarta dan sekitarnya. Di daerah inilah
untuk pertama kalinya istana Kerajaan Medang diperkirakan berdiri (Rajya Medang
i Bhumi Mataram). Nama ini ditemukan dalam beberapa prasasti, misalnya prasasti
Minto dan prasasti Anjukladang. Istilah Mataram kemudian lazim dipakai untuk
menyebut nama kerajaan secara keseluruhan, meskipun tidak selamanya kerajaan
ini berpusat di sana.
Pada
abad ke-10 berakhinya kekuasaan Dyag balitung dikerajaan Mataram hindu di Jawa
Tengah , kekuasaannya mundur. Ada dugaan bahwa kemunduran akibat adanya bencana
alam. Terutama gunung meletus yang mengahancurkan pusat kerajaan dan seluruh
perekonomiannya. Masalah ini tidak dapat
di selesaikan oleh Rakai Wawa . ia wafat
mendadak .kedudukan itu selanjudnya digantikan oleh Mpu Sindok yang
waktu itu menjadi Rakryan I Hino. Kemudian kerajaan Mataram kuno pindah ke Jawa
Timur,tepatnya di muara Sungai Brantas,ibukota Medang adalah Watan Mas.
Setelah
ia memindahkan kerajaan Mataram Kuno dari Jawa Tengah ke Jawa Timur.Mpu Sindok
memerintah Kerajaan Medang dari tahun 929 hingga 948. Mpu Sindok memerintah
bersama permaisuri yang bernama Mpu Kebi, yang bergelar Sri Prameswari Wardhani
Mpu Kebi Nama Permaisuri Mpu Kebi atau Dyah Kebi ini dapat di temukan dalam
Prasasti Cunggrang (929) dan Prasasti Gaweg (933).
Sistem
birokrasi kerajaan Medang masih sama dengan kerajaan lain yaitu pemimpin
teritinggi yaitu raja, didalam naskah Ramayana Kakawin yang sampai kepada kita
berisikan tentang rajadharma (tugas kewajiban seorang raja) yaitu bagian yang
merupakan ajaran Rama kepada adiknya Brarata dan kepada Whibisana dijumpai
antara lain ajaran astabrata, yaitu prilaku yang delapan. Dikatakan bahwa
didalam diri seorang raja berpadu 8 dewa-dewa yaitu Indra, Yama, Suryya,Soma,
Wayu, Kuwera, Waruna, dan Agni.
Dan
keadaan masyarakatnya yaitu bertani dan masih adanya sistem perpajakan untuk
rakyat, masyarakat juga mengenal perdagangan di pasar desa dan diluar pulau,
barang yang diperdagangan seperti hasil bumi yaitu berasm buah-buahan, sirih
pinang dan buah mengkudu juga hasil industrai rumah tangga, seperti alat
perkakas dari besi dan tembaga, pakaian , payung, keranjang dan barang- barang
anyaman, kejang kepis, gula arang dan kapur sirih. Binatang ternak seperti
kerbau, sapi, kambing ituk dan ayam serta telurnya juga diperjualbelikan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa penyebab perpindahan kerajaan
Medang Kamulan?
2. Apa bukti keberadaan Kerajaan
Medang Kamulan di Jawa Timur?
3. Bagaimana sistem pemerintahan
kerajaan Medang Kamulan?
4. Bagaimana sistem perekonomian,
kepercayaan dan Hukum Kerajaan Medang Kamulan?
C. Tujuan Penulisan
1. Agar pembaca tahu sebab-sebab
perpindahan kerajaan Medang Kamulan.
2. Agar pembaca mengetahui
peninggalan Kerajaan Medang Kamulan yang menyebar di pulau Jawa.
3. Agar pembaca mengetahui struktur
pemerintahan kerajaan Medang Kamulan.
4. Agar pembaca tahu sistem birokrasi,
Kosmogonis dan hokum kerajaan Medang Kamulan.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Kerajaan
Medang Kamulan
A. Perpindahan Kerajaan Medang Kamulan
Pada
umumnya sebutan Mataram Kuno lazim dipakai untuk menyebut nama Kerajaan ini
pada periode Jawa Tengah. Nama Mataram merujuk pada nama ibu kota kerajaan ini.
Kadang untuk membedakannya dengan Kerajaan Mataram Islam yang berdiri pada abad
ke-16, biasa pula disebut dengan nama Kerajaan Mataram Hindu. Istilah Kerajaan
Medang Kamulan dipakai untuk menyebut
nama kerajaan pada periode Jawa Timur. Namun berdasarkan prasasti-prasasti yang
telah ditemukan sebetulnya nama Medang Kamulan sudah dikenal sejak periode
sebelumnya, yaitu periode Jawa Tengah.
Pada
kerajaan di Jawa Tengah ,raja Wawa(924-929)serta merta tampil sebagai penguasa
di jawa tengah, dibantu oleh pati sekaligus menantunya, Mpu Sindok, Wawa
digantikan Mpu Sindok (929-947) yang
dikenal sebagai raja berjiwa prajurid, dan sangat toleran terhadap pemeluk
agama Budha Mahayana ,serta Sang Hyang Kamahaniyanikan berhasil digubah kedalam
Bahasa Jawa Kuno dari Bahasa Sanksekerta. Kitap ini memuat cerita tentang
dewa-dewa yang mirip dengan relief yang ada di candi Borobudur. Sebuah kitav
agama Hindu Syiwa Brahmanapurana yang berisikan Kosmologi,Kosmogoni, sejarah
para resi, dan cerita pertikaian antar kasta juga diterbitkan dalam waktu
hamper bersamaan.
Sementara
itu, nama yang lazim dipakai untuk menyebut Kerajaan Medang Kamulan periode
TengahKerajaan Mataram, yaitu merujuk kepada salah daerah ibu kota
kerajaan ini. Kadang untuk membedakannya dengan Kerajaan Mataram Islam yang
berdiri pada abad ke-16, Kerajaan Medang Kamulan periode Jawa Tengah biasa pula
disebut dengan nama Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Mataram Hindu. Kerajaan
Medang Kamulan mengalami beberapa masa perpindahan yang cukup siknifikan yaitu
:
b)
Medang
i Bhumi Mataram (zaman Sanjaya)
c)
Medang
i Mamrati (zaman Rakai Pikatan)
d)
Medang
i Poh Pitu (zama n Dyah Balitung)
e)
Medang
i Bhumi Mataram (zaman Dyah Wawa)
f)
Medang
i Tamwlang (zaman Mpu Sindok)
g)
Medang
i Watugaluh (zaman Mpu Sindok)
h)
Medang
i Wwatan (zaman Dharmawangsa Teguh)
Pada
abad ke-8 kerajaan Pra Mataram Islam (Mataram Kuno) memerintah di Jawa
Tengah,dengan Sanjaya (Syiwaistik) berkuasa di Kawasan Utara (kedu), sedangkan
Syailendra (Budha Mahayana) berkuasa dikawasan selatan (Bagelan dan Mataram ).
Candi –candi Hindu (Dieng, Prambanan, dll) dan Budha (Borobudur, Mendut
Kalasan, dll) membuktikan pada masa bersamaan di Jawa terdapat dua agama besar
yang bertoleransi.
Tetapi
seiring adanya pindahnya kerajaan Mataram kuno ke Jawa Timur disebabkan letusan
Gunung Merapi , Mpu sindok pada tahun 929 memindahkan pusat kerajaan Mataram
dari Jawa Tengah ke Jawa Timur.Menurut catatan sejarah, tempat baru tersebut
adalah watugaluh, yang terletak disungai Brantas, sekarang kira-kira adalah
wilayah Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Kerajaan baru ini tudak lagi disebut
Mataram, namun Medang Kamulan. Meskipun demikian, beberapa literature masih
menyebutkan sebagai Mataram II.
Selain
itu sebab pemerintahan Kerajaan Mataram kuno juga sempat berpindah ke Jawa
Timur disebabkan selama abad ke-7 sampai
ke-9 terjadi serangan-serangan dari Sriwijaya ke Kerajaan Mataram Kuno.
Besarnya pengaruh Kerajaan Mataram Kuno semakin terdesak ke wilayah timur.seperti
yang telah diketahui sekarang tidak diketahui nama kerajaan di JawaTengah ini
sebelum masa pemerintahan Sanjaya. Nama Mataram mungkin baru dipakai sejak
Sanjaya, ia bergelar rakai Mataram, demikian pula nama Medang sebagai pusat
kerajaan. Cerita Parahyangan menyebutkan nama kerajaan Sanna dan Sanjaya itu
Galuh. Memang dari prasasti Sojomerto dan beberapaprasasti lain yang hingga
kini belum dapat dibaca, tetapi jelas menggunakan hurug Pallawa, yang ditemukan
di daerah Pekalongan, mungkin sekali pusat kerajaan wangsa Sailendra itu
mula-mula di daerah Pekalongan sekarang.
Setelah
Sri Isyanatunggawijaya meninggal maka kerajaan medang Kamulan di pimpin oleh
Raja Sri Dharmawangsa teguh Anantawikramatunggadewa yaitu anaknya Sri
Isyanatunggawijaya dari perkawinannya dengan Raja Lokapala. Dharmawangsa
menikah dengan cucu Isyanatunggawiyaya yang lain dan mewarisi tahta mertuanya
(991-1016). Selama pemerintahannya telah diterbitkan berbagai karya,
diantaranya Kakawin Mahabrata, yang diterjemahkan kedalam Bahasa Jawa Kuna dari kitap Mahabrata India. Dharmawangsa menyerang Sriwijaya untuk
merebut bagian selatan wilayahnya agar dapat menguasai selat sunda yang sangat
penting bagi perdagangan(992).
Sriwijaya
dibantu Raja Wurawuri dari semenanjung Melayu membalas serangan Dharmawangsa
Teguh(1016). Serangan terjadi sewaktu pesta perkawinan agung antara putri
Dharmawangsa,Dharmawangsa, Sri dan Airlangga(16 tahun), keponakannya, Raja dan
Para pembesar Negara gugur, tumpas-tapis, namun Airlanggadan pengiring setianya
Narottama, dapat menyingkir ke pegunungan Wonogiri. Mereka hidup bersama- sama
para pendeta Hindu dan biksu Budha selama dua tahun.
Airlangga
untuk menduduki tahta kerajaan, memanfaatkan situasi vacuum of power di Jawa
Timur ketika tentara pendudukan Wurawari disana terpaksa ditarik kembali ke,
semenanjung melayu yang tengah diserang colomandala dari india selatan.
Airlangga mengawini seorang putri Sriwijaya, tentunya berpotensi memproduksi
ancaman dari lawan.
Setelah
beberapa tahun kemudian berada di
hutan,akhirnya pada tahun 1019, airlangga berhasil mempersatukan wilayah
kerajaan Medang Kamulan yang telah terpecah, membangun kembali kerajaan, dan
berdamai dengan Sriwijay. Kerajaan baru ini dikenal dengan kerajaan Kahuripan ,
yang wilayahnya membentang dari pasuruan di timur hingga Madiun dibarat. Airlangga
memperluaswilayahnya kerajaan hingga ke Jawa Tengah dan Bali. Pada tahun 1025,
Airlangga memperlebar pengaruh Kahuripan seiring dengan melemahnya Sriwijaya.
Pantai Utara Jawa terutama Surabaya dan Tuban, menjadi pusat perdagangan yang
penting untuk pertama kalinya.
Setelah
dikukuhkan sebagai pewaris tahta
mertuanya, Dharmawangsa Teguh, Airlangga mengganti nama kerajaan Medang
Kamulan menjadi Kahuripan dengan ibukota Wulan Mas (1037). Setelah kerajaan
Medang Kamulan berpindah menjadi Kahuripan, raja Airlangga berhadapa dengan
masalah pewarisan tahtanya sebagai raja,pewarisan itu yaitu Sanggrammawijaya, memilih menjadi
pertapa dari pada mengganti Airlangga. Pada tahun 1045, Airlangga membagi
Kahuripan menjadi dua kerajaan untuk
putranya yaitu Jenggala dan Kediri (penjulu), Airlangga sendiri menjadi pertapa
dan meninggal pada tahun 1049. Airlangga dimakamkan di candi Belahan dengan
perluhuran sebagai wisnu naik burung Garuda.
Dengan
pemecahan Kerajaan Kahuripan itu maka Pecahan kerajaan Medang berakhir,kerajaan
Janggala tidak mampu berkembang menjadi Negara besar sehingga lenyapdari
percaturan politik sedangkan kerajaan
Panjalu atau Kediri semakin berkembang, dangan memiliki kekuasaan sampai
perairan Indonesia bagian barat dan timur dengan raja Jayabaya.
B. Sumber-sumber
Sejarah Kerajaan Medang Kamulan
Sumber-sumber
sejarah yang menyebutkan keberadaan kerajaan Medang, sumber-sumber ini dalam
bentuk candi dan prasasti antara lain
1.
Prasasti
Mantyasih yaitu Prasasti Mantyasih tahun 907 atas nama Dyah Balitung
menyebutkan dengan jelas bahwa raja pertama Kerajaan Medang (Rahyang ta rumuhun
ri Medang ri Poh Pitu) adalah Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Sanjaya sendiri
mengeluarkan prasasti Canggal tahun 732, namun tidak menyebut dengan jelas apa
nama kerajaannya. Ia hanya memberitakan adanya raja lain yang memerintah pulau
Jawa sebelum dirinya, bernama Sanna. Sepeninggal Sanna, negara menjadi kacau.
Sanjaya kemudian tampil menjadi raja, atas dukungan ibunya, yaitu Sannaha
saudara perempuan Sanna.
2.
Prasasti
Sanggurah merupakan prasasti berangka tahun 982 Masehi yang ditemukan di daerah
Malang dan menyebut nama penguasa daerah itu, Sri Maharaja Rakai Pangkaja Dyah
Wawa Sri Wijayalokanamottungga (Dyah Wawa). Prasasti berbentuk tablet ini
disebut juga Prasasti Minto karena dihadiahkan oleh Raffles kepada Lord Minto,
keduanya pernah memimpin Hindia Belanda ketika Britania Raya menguasai Belanda
pada dasawarsa kedua abad ke-19.
3.
Prasasti
dinoyo yaitu prasasti yang ditemukan
terputus menjadi tiga bagian. Bagian
yang tengah di temukan di Desa Dinoyo, sedang dibagian atas dan bagian bawah
ditemukan di Desa Merjosari, kira-kira 2 Km
disebelah barat Dinoyo. Mengingat kasus di gunung Wukir dan prasasti
Canggal, mungkin sekali prasasti Dinoyo ini asalnya justru dari Merjosari, yang
memangternyata menghasilkan sisa-sisa bangunan. De casparis menduga bahwa batu
prasasti itu berasal dari Desa Kejuron, pendapat ini mungin kurang dapat
diterima karena Kejuron mungkin justru merupakan pusat kerajaan, sedang
prasasti tentulah tidak didirikan dipusat kerajaan, tetapi di dekat candinya.
4.
Prasasti
Wantil, Mpu Manuku membangun ibu kota baru di desa Mamrati sehingga ia pun
dijuluki sebagai Rakai Mamrati. Istana baru itu bernama Mamratipura, sebagai
pengganti ibu kota yang lama, yaitu Mataram.Prasasti Wantil disebut juga
prasasti Siwagreha yang dikeluarkan pada tanggal 12 November856. Prasasti ini
selain menyebut pendirian istana Mamratipura, juga menyebut tentang pendirian
bangunan suci Siwagreha, yang diterjemahkan sebagai Candi Siwa.
Selain
meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti-prasasti yang tersebar di Jawa
Tengah dan Jawa Timur, Kerajaan Mataram/Medang juga membangun banyak candi,
baik itu yang bercorak Hindu maupun Buddha. Temuan Wonoboyo berupa artifak emas
yang ditemukan tahun 1990 di Wonoboyo, Klaten, Jawa Tengah; menunjukkan
kekayaan dan kehalusan seni budaya kerajaan Mataram.
Candi-candi
peninggalan Kerajaan Medang antara lain, Candi Kalasan, Candi Plaosan, Candi
Prambanan, Candi Sewu, Candi Mendut, Candi Pawon, dan tentu saja yang paling
kolosal adalah Candi Borobudur. Candi megah yang dibangun oleh Sailendrawangsa
ini telah ditetapkan UNESCO (PBB) sebagai salah satu warisan budaya dunia.
C. Sistem
Pemerintahan Kerajaan Medang Kamulan
Didalam
prasasti Mantyasih , Desa Mantyasih disebut sima kapatiihan karena yang
mendapat anugrah adalah lima orang patih di Mantyasih, didalam prasasti
Sangguran disebut sima kajurugusalyan di Mananjung, karena ada jabatan juru
gusali, yaitu ketua para pandai besi, didalam prasasti Balingawan disebut sima
kamulan, karena semula Desa Balingawan itu selalu diganggu oleh penjahat
sehingga penduduk sering membayar denda atas pembunuhan gelap dan perkelahian
gelap yang mengakibatkan seseorang menderita luka-luka. Didalam prasasti telang
ada istilah kamulan dan rumah kamulan yang jelas tidak ada hubungan dengan
tempat pemujaan cikal bakal Desa telang, karena menjadi pokok pembicaraan dalam
prasasti itu ialah tempat penyeberangan. Berdasarkan itu semua dapat disimpulkan
disini bahwa Desa Bhumisambhara itu ialah sima kamulan karena dianugrahkan
kepada pejabat mula. Saying sekali hingga sekarang belum jelas apa tugas
seorang mula dalam masyarakat jawa kuno. Didalam prasasti Mantyasih tersebut
tertulis daftar raja-raja Medang yang telah berkuasa dalam setiap masa
pemerintahannya.daftar raja-raja tersebut sebagai berikut:
1.
Sanjaya,
pendiri Kerajaan Medang (Karya Candi Canggal/Penganut Hindu Syiwa)
2.
Rakai
Panangkaran, awal berkuasanya Wangsa Sailendra(Membangun Candi Borobudur,sebagai
penganut budha mahaya" dinasti berpindah agama dari leluhurnya yang hindu
syiwa")membangun juga candi Kalasan, sebagai pengormatan leluhur").
3.
Rakai
Panunggalan alias Dharanindra Menaklukkan Sriwijaya bahkan sampai ke kamboja
dan campa berjuluk Wirawairimathana (penumpas musuh perwira)
4.
Rakai
Warak alias Samaragrawira Ayah dari Balaputradewa raja Sriwijaya
Wirawairimathana (penumpas musuh perwira)
5.
Rakai
Garung alias Samaratungga Sri Maharaja Samarottungga,
Atau
kadang ditulis Samaratungga, adalah raja Sriwijaya Wangsa Syailendra yang
memerintah pada tahun 792 – 835. Tidak seperti pendahulunya yang ekspansionis,
pada masa pemerintahannya, Sriwijaya lebih mengedepankan pengembangan agama dan
budaya. Pada tahun 825, dia menyelesaikan pembangunan candi Borobudur yang
menjadi kebanggaan Indonesia.
Untuk
memperkuat aliansi antara wangsa Syailendra dengan penguasa Sriwijaya
terdahulu, Samaratungga menikahi Dewi Tara, putri Dharmasetu. Dari pernikahan
itu Samaratungga memiliki seorang putra pewaris tahta, Balaputradewa, dan
Pramodhawardhani yang menikah dengan Rakai Pikatan, putra Sri Maharaja Rakai
Garung, raja kelima Kerajaan Medang.
6. Rakai Pikatan suami Pramodawardhani,
Awal
kebangkitan Wangsa Sanjaya (Candi
Prambanan) Rakai Pikatan terdapat dalam daftar para raja versi prasasti
Mantyasih. Nama aslinya menurut prasasti Argapura adalah Mpu Manuku. Pada
prasasti Munduan tahun 807 diketahui Mpu Manuku menjabat sebagai Rakai Patapan.
Kemudian pada prasasti Kayumwungan tahun 824 jabatan Rakai Patapan dipegang
oleh Mpu Palar. Mungkin saat itu Mpu Manuku sudah pindah jabatan menjadi Rakai
Pikatan. Akan tetapi, pada prasasti Tulang Air tahun 850 Mpu Manuku kembali
bergelar Rakai Patapan.
Sedangkan
menurut prasasti Gondosuli, Mpu Palar telah meninggal sebelum tahun 832.
Kiranya daerah Patapan kembali menjadi tanggung jawab Mpu Manuku, meskipun saat
itu ia sudah menjadi maharaja. Tradisi seperti ini memang berlaku dalam sejarah
Kerajaan Medang di mana seorang raja mencantumkan pula gelar lamanya sebagai
kepala daerah, misalnya Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung.
7. Rakai Kayuwangi alias Dyah Lokapala
Menurut
prasasti Wantil atau prasasti Siwagerha tanggal 12 November 856, Dyah Lokapala
naik takhta menggantikan ayahnya, yaitu Sang Jatiningrat (gelar Rakai Pikatan
sebagai brahmana). Pengangkatan putra bungsu sebagai raja ini didasarkan pada
jasa kepahlawanan Dyah Lokapala dalam menumpas musuh ayahnya, yang bermarkas di
timbunan batu di atas bukit Ratu Baka. (Pusat kerajaan tidak lagi di mataram
tapi di mamratipu
8. Rakai Watuhumalang
Rakai
Pikatan memiliki beberapa orang anak, antara lain Rakai Gurunwangi (prasasti
Plaosan) dan Rakai Kayuwangi (prasasti Argapura). Sedangkan Rakai Watuhumalang
mungkin juga putra Rakai Pikatan atau mungkin menantunya. akhir periode rakai
pikatan terjadi perpecahan di Kerajaan Medang akibat perebutan kuasa antara
Gurunwangi dan kayuwangi namun sepeninggal kayuwangi Watuhumalang yang
menduduki tahta.
9. Rakai Watukura Dyah Balitung
Rakai
Watuhumalang memiliki putra bernama Mpu Daksa (prasasti Telahap) dan menantu
bernama Dyah Balitung (prasasti Mantyasih). Dyah Balitung inilah yang mungkin
berhasil menjadi pahlawan dalam menaklukkan Rakai Gurunwangi dan Rakai Limus
sehingga takhta pun jatuh kepadanya sepeninggal Rakai Watukura. Pada akhir
pemerintahan Dyah Balitung terjadi persekutuan antara Mpu Daksa dengan Rakai
Gurunwangi (prasasti Taji Gunung). Kiranya pemerintahan Dyah Balitung berakhir
oleh kudeta yang dilakukan kedua tokoh tersebut. memindahkan pusat pemerintahan
kerajaan medang dari mamratipura ke poh-pitu(sekitar kedu)
10. Mpu Daksa
Mpu
Daksa naik takhta menggantikan Dyah Balitung yang merupakan saudara iparnya.
Hubungan kekerabatan ini berdasarkan bukti bahwa Daksa sering disebut namanya
bersamaan dengan istri Balitung dalam beberapa prasasti. Selain itu juga
diperkuat dengan analisis sejarawan Boechari terhadap berita Cina dari Dinasti
TangTat So Kan Hiung, yang artinya “Daksa, saudara raja yang gagah berani”
11. Rakai Layang Dyah Tulodong
Dyah
Tulodhong dianggap naik takhta menggantikan Mpu Daksa. Dalam prasasti Ritihang
yang dikeluarkan oleh Mpu Daksa terdapat tokoh Rakryan Layang namun nama
aslinya tidak terbaca. Ditinjau dari ciri-cirinya, tokoh Rakryan Layang ini
seorang wanita berkedudukan tinggi, jadi tidak mungkin sama dengan Dyah
Tulodhong. Mungkin Rakryan Layang adalah putri Mpu Daksa. Dyah Tulodhong
berhasil menikahinya sehingga ia pun ikut mendapatkan gelar Rakai Layang,
bahkan naik takhta menggantikan mertuanya, yaitu Mpu Daksa. Dalam prasasti
Lintakan Dyah Tulodhong disebut sebagai putra dari seseorang yang dimakamkan di
Turu Mangambil.
12. Rakai Sumba Dyah Wawa
Dalam
prasasti Wulakan tanggal 14 Februari 928, Dyah Wawa mengaku sebagai anak Kryan
Landheyan sang Lumah ri Alas (putra Kryan Landheyan yang dimakamkan di hutan).
Nama ayahnya ini mirip dengan Rakryan Landhayan, yaitu ipar Rakai Kayuwangi
yang melakukan penculikan dalam peristiwa Wuatan Tija.
13. Mpu Sindok, awal periode Jawa Timur
Istana
Kerajaan Medang pada awal berdirinya diperkirakan terletak di daerah Mataram
(dekat Yogyakarta sekarang). Kemudian pada masa pemerintahan Rakai Pikatan
dipindah ke Mamrati (daerah Kedu). Lalu, pada masa pemerintahan Dyah Balitung
sudah pindah lagi ke Poh Pitu (masih di sekitar Kedu). Kemudian pada zaman Dyah
Wawa diperkirakan kembali ke daerah Mataram.
Mpu
Sindok kemudian memindahkan istana Medang ke wilayah Jawa Timur sekarang. Dalam
beberapa prasastinya, ia menyebut kalau kerajaannya merupakan kelanjutan dari
Kerajaan Medang di Jawa Tengah. Misalnya, ditemukan kalimat berbunyi Kita
prasiddha mangraksa kadatwan rahyangta i Bhumi Mataram i Watugaluh.
14. Sri Lokapala suami Sri Isanatunggawijaya
Sri
Isyana Tunggawijaya merupakan putri dari Mpu Sindok, yaitu raja yang telah
memindahkan istana Kerajaan Medang dari Jawa Tengah menuju Jawa Timur. Tidak
banyak diketahui tentang masa pemerintahannya. Suaminya yang bernama Sri
Lokapala merupakan seorang bangsawan dari pulau Bali.
Peninggalan
sejarah Sri Lokapala berupa prasasti Gedangan tahun 950 yang berisi tentang
anugerah desa Bungur Lor dan desa Asana kepada para pendeta Buddha di
Bodhinimba. Namun, prasasti Gedangan ini merupakan prasasti tiruan yang
dikeluarkan pada zaman Kerajaan Majapahit untuk mengganti prasasti asli yang
sudah rusak.
Prasasti
atau piagam dianggap sebagai benda pusaka yang diwariskan secara turun-temurun.
Apabila prasasti tersebut mengalami kerusakan, ahli waris biasanya memohon
kepada raja yang sedang berkuasa untuk memperbaharuinya. Prasasti pembaharuan
ini disebut dengan istilah prasasti tinulad.
Tidak
diketahui dengan pasti kapan pemerintahan Sri Lokapala dan Sri Isyana
Tunggawijaya berakhir. Menurut prasasti Pucangan, yang menjadi raja selanjutnya
adalah putra mereka yang bernama Sri Makuthawangsawardhana.
15. Makuthawangsawardhana
Jalannya
pemerintahan Makutawangsawardhana tidak diketahui dengan pasti. Namanya hanya
ditemukan dalam prasasti Pucangan sebagai kakek Airlangga. Disebutkan bahwa,
Makutawangsawardhana adalah putra pasangan Sri Lokapala dan Sri Isana
Tunggawijaya putri Mpu Sindok.
Prasasti
Pucangan juga menyebut Makutawangsawardhana memiliki putri bernama
Mahendradatta, yaitu ibu dari Airlangga. Dalam prasasti itu juga disebut adanya
nama seorang raja bernama Dharmawangsa, namun hubungannya dengan
Makutawangsawardhana tidak dijelaskan.
16. Dharmawangsa Teguh, Kerajaan Medang
berakhir
Prasasti
Pucangan tahun 1041 dikeluarkan oleh raja bernama Airlangga yang menyebut
dirinya sebagai anggota keluarga Dharmawangsa Teguh. Disebutkan pula bahwa
Airlangga adalah putra pasangan Mahendradatta dengan Udayana raja Bali.
Adapun
Mahendradatta adalah putrid Makuthawangsawardhana dari Wangsa Isana. Airlangga
sendiri kemudian menjadi menantu Dharmawangsa.
D. Keadaan
masyarakat
Didalam
struktur pemerintahan kerajaan-kerajaan kuno, raja(sri maharaja) ialah penguasa
tertinggi.sesuai dengan landasan kosmogonis,raja ialah penjelmaan dewa di
dunia. Hal itu ternyata dari gelar abhiseka dan pujian-pujian kepada raja
didalam berbagai prasasti dan kitab-kitap susastra Jawa kuno sejak raja
Airlangga. Dari zaman Mataram kuno hanya ada dua orang raja yang bergelar
abhiseka dengan unsure tunggadewa, yaitu Bhujayotunggadewa didalam prasasti
dari Candi Plaosan Lor dan Rakai Layang Dyah Tulodong Sri
Sajjanasanmatanuragatungadewa. Didalam kerajaan Mataram secara khusus menganut
suatu landasan kosmogonis yaitu kepercayaan akan arus adanya suatu keserasian
antara dunia manusia ini ( mikrokosmos) dengan alam semesta (mikrokosmos).
Disini akan disajikan gambaran besarnya saja dalam
garis besarnya saja, dimulai dengaan golongan elite ditingkat pusat. Di ibu
kota kerajaan, yang menurut berita-berita cina dikelilingi oleh dinding, baik
dari batu bata maupun dari batang-batang kayu, terdapat istana raja yang juga
dikelilingi oleh dinding. Didalam istana itulah berdiam raja dan keluarganya,
yaitu permaisuri, selir selir, dan anak-anaknya yang belum dewasa, dan para
hamba istana(hulun haji, watek I jro). Diluar istana, masih didalam lingkungan
dindinga kota, terdapat kediaman putra mahkota (rake hino), dan tiga orang adiknya
(rakai hulu, rakai sirikan dan rakai wra), dan kediaman para pejabat tinggi
kerajaan.
Dilingkungan
tembok ibu kota kerajaan tinggal kelompok elite dan non-elite, raja dan
keluarganya mengmbil tempat tersendiri. Hungungan antara raja secara langsung dengan
kelompok non-elite sulit terlaksana, sedang dengan kelompok elite birokrasi
saja hubungan itu henya terjadi secara formal.
Didalam
landasan Kosmogonis masyarakat yaitu menurut kepercayaan ini manusia selalu
berada dibawah pengaruah kekuatan-kekuatan yang terpancar dari bintang-bintang
dan planet-planet. Kekuatan itu dapat membawa kebahagian , kesejahteraan , dan
perdamaian atau bencana kepada manusia, tergantung dari dapat atau tidaknya
individu , kelompok-kelompok sosial, terutama kerajaan,menyerasikan hidup dan
semua kegiatannya dengan gerak alam semesta.
Agama
resmi Kerajaan Medang pada masa pemerintahan Sanjaya adalah Hindu aliran Siwa.
Ketika Sailendrawangsa berkuasa, agama resmi kerajaan berganti menjadi Buddha
aliran Mahayana. Kemudian pada saat Rakai Pikatan dari Sanjayawangsa berkuasa,
agama Hindu dan Buddha tetap hidup berdampingan dengan penuh toleransi. Didalam
stratifikasi sosialnya masyarakat didalam kerajaan Medang masih menggunakan
kasta-kasta didalam agama Hindu baik kedudukannya didalam struktur birokrasi
maupun kedudukannya berdasarkan kekayaan materill.
Menurut
ajaran agama Hindu , alam ini terdiri atas suatu benua pusat berbentuk
lingkaran, yang bernama jambudwipa. Benua ini dilingkari oleh tujuh lautan dan
tujuh daratan, dan semua itu di batasi oleh suatu pegunungan yang tinggi.
Ditengah –tengah Jambudwipa berdiri gunung Meru sebagai pusat alam semesta.
Matahari , bulan , dan bintang-bintang bergerak mengililingi Gunung Meru itu.
Di Puncaknya terdapat kota dewa-dewa, yang di kelilingai oleh tempat tinggal ke
delapan dewa penjaga mata angin (Lokapala).
Dengan
singkat dapat dikatakan bahwa seorang raja harus berpegang teguh kepada dharma,
bersikap adil, menghukum yang bersalah dan memberikan anugrah kepada mereka
yang berjasa( wnang wgraha anugraha), bijaksana, tidak boleh
sewenang-wenangnya. Waspada terhadapgejolak dikalangan rakyatnya, berusaha agar
rakyat senantiasa memperoleh rasa tentram dan bahagia, dan dapat memperlihatkan
wibawanya dengan kekuatan angkatan perang dan harta kekayaannya.
Di
bidang ekonomi penduduk Medang sejak periode Bhumi Mataram sampai periode
Wwatan pada umumnya bekerja sebagai petani. Kerajaan Medang memangterkenal
sebagai negara agraris, sedangkan saingannya, yaitu Kerajaan Sriwijaya
merupakan negara maritim.
Dibeberapa
prasasti telah memberi keterangan akan adanya masyarakat yang mengenel ekonomi
di wilayah kerajaan,di pedesaan pertama-tama sudah mengenal hasil bumi seperti
beras, buah-buahan, sirih pinah, dan buah mengkudu. Juga hasil industry rumah
tangga, seperti alat perkakas dari besi dan tembaga, pakaian, paying keeranjang
dan barang-barang anyaman , kejang kepis, gula, arang, dan kapur sirih.
Binatang ternak seperti kerbau, sapi, kambing , itik dan ayam serta telurnya
juga diperjualbelikan.
Prasasti
tidak menyebutkan komoditas ekspor, dan hanya ada satu barang yang mungkin
diimpor yaitu kain buatan India (wdihan buat kling). Akan tetapi, data tentang
masalah ekspor-impor itu diperoleh darr berita-berita Cina. Ekspor dari
pelabuhan –pelabuhan di Jawa terdiri atas hasil bumi dan hutan Pulau Jawa
sendiri dan dari Pulau-pulau yang lain, terutama dari Kaliimantan dan
Indonesian bagian timur. Komoditas ekspor itu anatara lain garam yang di
hasilkan dipantai utara Pulau Jawa, terutama didaerah Kembang dan Tuban , kain
Katun dan Kapuk, Sutra tipis dan Sutra kuning, damas, kain brokat
berwarna-warni, kulit penyu, pinang, pisang raja, gula tebu, kemukus, cula
badak, mutiara, belerang, gaharu, kayu sepang, kayu cendana.,cengkeh, pala,
marica, dammar, kapur barus dan lain-lainnya.
2. Kerajaan
Mataram
A. Awal
perkembangan Kerajaan Mataram Islam
Kerajaan
Mataram berdiri pada tahun 1582. Pusat Kerajaan ini terletak di sebelah
tenggara kota Yogyakarta, yakni di Kotagede. Para raja yang pernah memerintah
di Kerajaan Mataram yaitu : Penembahan Senopati (1584-1601), Panembahan Seda
Krapyak (1601-1677).
Dalam
sejarah Islam,Kesultanan mataram memiliki peran yang cukup penting dalam
perjalanan secara kerajaan-kerajaan islam di Nusantara (Indonesia). Hal ini
terlihat dari semangat raja-raja untuk memperluas daerah kekuasaan dan
mengislamkan para penduduk daerah kekuasaannya, keterlibatan para pemuka agama,
hingga pengembangan kebudayaan yang bercorak islam di Jawa.
Pada
awalnya daerah mataram dikuasai kesultanan pajang sebagai balas jasa atas
perjuangan dalam mengalahkan Arya Penangsang. Sultan Hadiwijaya menghadiahkan
daerah mataram kepada Ki Ageng Pemanahan. Selanjutnya, oleh Ki Ageng Pemanahan
Mataram dibangun sebagai tempat permukiman baru dan persawahan.
Akan
tetapi, kehadirannya di daerah ini dan usaha pembangunannya mendapat berbagai
jenis tanggapan dari para penguasa setempat. Misalnya, Ki Ageng Giring yang
berasal dari wangsa Kajoran secara terang-terangan menentang kehadirannya.
Begitu pula ki Ageng tembayat dan Ki Ageng Mangir. Namun masih ada yang
menerima kehadirannya, misalnya ki Ageng Karanglo. Meskipun demikian, tanggapan
dan sambutan yang beraneka itu tidak mengubah pendirian Ki Ageng Pemanahan
untuk melanjutkan pembangunan daerah itu. ia membangun pusat kekuatan di plered
dan menyiapkan strategi untuk menundukkan para penguasa yang menentang
kehadirannya.
Pada
tahun 1575, Pemahanan meninggal dunia. Ia digantikan oleh putranya, Danang
Sutawijaya atau Pangeran Ngabehi Loring Pasar. Di samping bertekad melanjutkan
mimpi ayahandanya, ia pun bercita-cita membebaskan diri dari kekuasaan pajang.
Sehingga, hubungan antara mataram dengan pajang pun memburuk.Hubungan yang
tegang antara sutawijaya dan kesultanan Pajang akhirnya menimbulkan peperangan.
Dalam peperangan ini, kesultanan pajang mengalami kekalahan. Setelah penguasa
pajak yakni hadiwijaya meninggal dunia (1587), Sutawijaya mengangkat dirinya
menjadi raja Mataram dengan gelar penembahan Senopati Ing Alaga. Ia mulai
membangun kerajaannya dan memindahkan senopati pusat pemerintahan ke Kotagede.
Untuk memperluas daerah kekuasaanya, penembahan senopati melancarkan
serangan-serangan ke daerah sekitar. Misalnya dengan menaklukkan Ki Ageng
Mangir dan Ki Ageng Giring.
B. Daerah
kekuasaan Kerajaan Mataram Islam
Pada
tahun 1590, penembahan senopati atau biasa disebut dengan senopati menguasai
madiun, yang waktu itu bersekutu dengan surabaya. Pada tahun 1591 ia
mengalahkan kediri dan jipang, lalu melanjutkannya dengan penaklukkan Pasuruan
dan Tuban pada tahun 1598-1599.
Sebagai
raja islam yang baru, panembahan senopati melaksanakan penaklukkan-penaklukan
itu untuk mewujudkan gagasannya bahwa mataram harus menjadi pusat budaya dan
agama islam, untuk menggantikan atau melanjutkan kesultanan demak. Disebutkan
pula dalam cerita babad bahwa cita-cita itu berasal dari wangsit yang
diterimanya dari Lipura (desa yang terletak di sebelah barat daya Yogyakarta).
Wangsit datang setelah mimpi dan pertemuan senopati dengan penguasa laut
selatan, Nyi Roro Kidul, ketika ia bersemedi di Parangtritis dan Gua Langse di
Selatan Yogyakarta. Dari pertemuan itu disebutkan bahwa kelak ia akan menguasai
seluruh tanah Jawa.
C. Sistem
Pemerintahan
Sistem
pemerintahan yang dianut Kerajaan mataram islam adalah sistem Dewa-Raja.
Artinya pusat kekuasaan tertinggi dan mutlak adaa pada diri sultan. Seorang
sultan atau raja sering digambarkan memiliki sifat keramat, yang
kebijaksanaannya terpacar dari kejernihan air muka dan kewibawannya yang tiada
tara. Raja menampakkan diri pada rakyat sekali seminggu di alun-alun istana.
Selain
sultan, pejabat penting lainnya adalah kaum priayi yang merupakan penghubung
antara raja dan rakyat. Selain itu ada pula panglima perang yang bergelar
Kusumadayu, serta perwira rendahan atau Yudanegara. Pejabat lainnya adalah
Sasranegara, pejabat administrasi.
Dengan
sistem pemerintahan seperti itu, Panembahan senopati terus-menerus memperkuat
pengaruh mataram dalam berbagai bidang sampai ia meninggal pada tahun 1601. ia
digantikan oleh putranya, Mas Jolang atau Penembahan Sedaing Krapyak (1601 – 1613).
Peran mas Jolang tidak banyak yang menarik untuk dicatat. Setelah mas jolang
meninggal, ia digantikan oleh Mas Rangsang (1613 – 1645). Pada masa
pemerintahannyalah Mataram mearik kejayaan. Baik dalam bidang perluasan daerah
kekuasaan, maupun agama dan kebudayaan.
Pangeran
Jatmiko atau Mas Rangsang Menjadi raja mataram ketiga. Ia mendapat nama gelar
Agung Hanyakrakusuma selama masa kekuasaan, Agung Hanyakrakusuma berhasil
membawa Mataram ke puncak kejayaan dengan pusat pemerintahan di Yogyakarta.
Gelar “sultan” yang disandang oleh Sultan Agung menunjukkan bahwa ia mempunyai
kelebihan dari raja-raja sebelumnya, yaitu panembahan Senopati dan Panembahan
Seda Ing Krapyak. Ia dinobatkan sebagai raja pada tahun 1613 pada umur sekitar
20 tahun, dengan gelar “Panembahan”. Pada tahun 1624, gelar “Panembahan”
diganti menjadi “Susuhunan” atau “Sunan”. Pada tahun 1641, Agung Hanyakrakusuma
menerima pengakuan dari Mekah sebagai sultan, kemudian mengambil gelar
selengkapnya Sultan Agung Hanyakrakusuma Senopati Ing Alaga Ngabdurrahman.
Karena
cita-cita Sultan Agung untuk memerintah seluruh pulau jawa, kerajaan Mataram
pun terlibat dalam perang yang berkepanjangan baik dengan penguasa-penguasa
daerah, maupun dengan kompeni VOC yang mengincar pulau Jawa.
Pada
tahun 1614, sultan agung mempersatukan kediri, pasuruan, lumajang, dan malang.
Pada tahun 1615, kekuatan tentara mataram lebih difokuskan ke daerah wirasaba,
tempat yang sangat strategis untuk menghadapi jawa timur. Daerah ini pun
berhasil ditaklukkan. pada tahun 1616, terjadi pertempuran antara tentara
mataram dan tentara surabaya, pasuruan, Tuban, Jepara, wirasaba, Arosbaya dan
Sumenep. Peperangan ini dapat dimenangi oleh tentara mataram, dan merupakan
kunci kemenangan untuk masa selanjutnya. Di tahun yang sama Lasem menyerah.
Tahun 1619, tuban dan Pasuruan dapat dipersatukan. Selanjutnya mataram
berhadapan langsung dengan Surabaya. Untuk menghadapi surabaya, mataram
melakukan strategi mengepung, yaitu lebih dahulu menggempur daerah-daerah
pedalaman seperti Sukadana (1622) dan Madura (1624). Akhirnya, Surabaya dapat
dikuasai pada tahun 1625.
Dengan
penaklukan-penaklukan tersebut, Mataram menjadi kerajaan yang sangat kuat
secara militer. Pada tahun, 1627, seluruh pulau jawa kecuali kesultanan Banten
dan wilayah kekuasaan kompeni VOC di Batavia ttelah berhasil dipersatukan di
bawah mataram. Sukses besar tersebut menumbuhkan kepercayaan diri sultan agung
untuk menantang kompeni yang masih bercongkol di Batavia. Maka, pada tahun
1628, Mataram mempersiapkan pasukan di bawah pimpinan Tumenggung Baureksa dan
Tumenggung Sura Agul-agul, untuk mengempung Batavia.
Sayang
sekali, karena kuatnya pertahanan Belanda, serangan ini gagal, bahkan
tumenggung Baureksa gugur. Kegagalan tersebut menyebabkan matara bersemangat
menyusun kekuatan yang lebih terlatih, dengan persiapan yang lebih matang. Maka
pada pada 1629, pasukan Sultan Agung kembali menyerbu Batavia. Kali ini, ki
ageng Juminah, Ki Ageng Purbaya, ki Ageng Puger adalah para pimpinannya.
Penyerbuan dilancarkan terhadap benteng Hollandia, Bommel, dan weesp. Akan
tetapi serangan ini kembali dapat dipatahkan, hingga menyebabkan pasukan
mataram ditarik mundur pada tahun itu juga. Selanjutnya, serangan mataram
diarahkan ke blambangan yang dapat diintegrasikan pada tahun 1639.
Bagi
Sultan Agung, Kerajaan Mataram adalah kerajaan islam yang mengemban amanat
Tuhan di tanah Jawa. Oleh sebab itu, struktur serta jabatan kepenghuluan
dibangun dalam sistem kekuasaan kerajaan. Tradisi kekuasaan seperti sholat
jumat di masjid, grebeg ramadan, dan upaya pengamanalan syariat islam merupakan
bagian tak terpisahkan dari tatanan istana.
Sultan
agung juga berprediksi sebagai pujangga. Karyanya yang terkenal yaitu kitab
Serat Sastra Gendhing. Adapun kitab serat Nitipraja digubahnya pada tahun 1641
M. Serat sastra Gendhing berisi tetang budi pekerti luhur dan keselarasan lahir
batin. Serat Nitipraja berisi tata aturan moral, agar tatanan masyarakat dan
negara dapat menjadi harmonis. Selain menulis, Sultan Agung juga memerintahkan
para pujangga kraton untuk menulis sejarah babad tanah Jawi.
Di
antara semua karyanya , peran sultan agung yang lebih membawa pengaruh luas
adalah dalam penanggalan. Sultan agung memadukan tradisi pesantren islam dengan
tradisi kejawen dalam perhitungan tahun. Masyarakat pesantren biasa menggunakan
tahun hijriah, masyarakat kejawen menggunakan tahun Caka atau saka. Pada tahun
1633, Sultan Agung berhasil menyusun dan mengumumkan berlakunya sistem
perhitungan tahun yang baru bagi seluruh mataram. Perhitungan itu hampir
seluruhnya disesuaikan dengan tahun hijriah, berdasarkan perhitungan bulan.
Namun, awal perhitungan tahun jawa ini tetap sama dengan tahun saka, yaitu 78
m. Kesatuan perhitungan tahun sangat penting bagi penulisan serat babad.
Perubahan perhitungan itu merupakan sumbangan yang sangat penting bagi
perkembangan proses pengislaman tradisi dan kebudayaan jawa yang sudah terjadi
sejak berdirinya kerajaan demak. Hingga saat ini, sistem penanggalan ala sultan
Agung ini masih banyak digunakan.
Sejak
masa sebelum sultan Agung pembangunan non-militer memang telah dilakukan. Satu
yang layak disebut, panembahan Senopati menyempurnakan bentuk wayang dengan
tatanan gempuran. Setelah zaman senopati, mas jolang juga berjasa dalam
kebudayaan, dengan berusaha menyusun sejarah negeri demak, serta menulis
beberapa kitap suluk. Misalnya Sulu Wujil (1607 M) yang berisi wejangan Sunan
bonang kepada abdi raja majapahit yang bernama Wujil. Pangeran Karanggayam juga
menggubah Serat Nitisruti (1612 m) pada masa mas jolang.
Menjelang
akhir hayatnya. Sultan Agung menerapkan peraturan yang bertujuan mencegah
perebutan tahta, antara keluarga raja dan putra mahkota. Di bawah kepemimpinan
Sultan Agung, Mataram tidak hanya menjadi pusat kekuasaan, tapi juga menjadi
pusat penyebaran islam.
D. Aspek
Kehidupan Sosial
Kehidupan
masyarakat di kerajaan Mataram, tertata dengan baik berdasarkan hukum Islam
tanpa meninggalkan norma-norma lama begitu saja. Dalam pemerintahan Kerajaan
Mataram Islam, Raja merupakan pemegang kekuasaan tertinggi, kemudian diikuti
oleh sejumlah pejabat kerajaan. Di bidang keagamaan terdapat penghulu, khotib,
naid, dan surantana yang bertugas memimpin upacara-upacara keagamaan. Di bidang
pengadilan,dalam istana terdapat jabatan jaksa yang bertugas menjalankan
pengadilan istana. Untuk menciptakan ketertiban di seluruh kerajaan, diciptakan
peraturan yang dinamakan anger-anger yang harus dipatuhi oleh seluruh penduduk
E. Aspek
Kehidupan Ekonomi dan Kebudayaan
Kerajaan
Mataram adalah kelanjutan dari Kerajaan Demak dan Pajang. Kerajaan ini
menggantungkan kehidupan ekonominya dari sektor agraris. Hal ini karena
letaknya yang berada di pedalaman. Akan tetapi, Mataram juga memiliki daerah
kekuasan di daerah pesisir utara Jawa yang mayoritas sebagai pelaut. Daerah
pesisir inilah yang berperan penting bagi arus perdagangan Kerajaan Mataram.
Kebudayaan yang berkembang pesat pada masa Kerajaan Mataram berupa seni tari,
pahat, suara, dan sastra. Bentuk kebudayaan yang berkembang adalah Upacara
Kejawen yang merupakan akulturasi antara kebudayaan Hindu-Budha dengan Islam.
Di samping itu, perkembangan di bidang kesusastraan memunculkan karya sastra
yang cukup terkenal, yaitu Kitab Sastra Gending yang merupakan perpaduan dari
hukum Islam dengan adat istiadat Jawa yang disebut Hukum Surya Alam.E.
F. Puncak
Kejayaan Mataram Islam
Mataram
Islam mencapai puncak kejayaannya pada jaman Sultan Agung Hanyokrokusumo
(1613-1646). Daerah kekuasaannya mencakup Pulau Jawa (kecuali Banten dan
Batavia), Pulau Madura, dan daerah Sukadana di Kalimantan Barat. Pada waktu
itu, Batavia dikuasai VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie )
Belanda.Kekuatan militer Mataram sangat besar. Sultan Agung yang sangat anti
kolonialisme itumenyerang VOC di Batavia sebanyak dua kali (1628 dan 1629).
Menurut Moejanto sepertiyang dikutip oleh Purwadi (2007), Sultan Agung memakai
konsep politik keagungbinataran yang berarti bahwa kerajaan Mataram harus
berupa ketunggalan, utuh, bulat, tidak tersaingi,dan tidak terbagi-bagi.
G. Kemunduran
Mataram Islam
Kemunduran
Mataram Islam berawal saat kekalahan Sultan Agung merebut Batavia dan menguasai
seluruh Jawa dari Belanda. Setelah kekalahan itu, kehidupan ekonomi rakyat
tidak terurus karena sebagian rakyat dikerahkan untuk berperang.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada
kerajaan di Jawa Tengah ,raja Wawa(924-929)serta merta tampil sebagai penguasa
di jawa tengah, dibantu oleh pati sekaligus menantunya, Mpu Sindok, sangat
toleran terhadap pemeluk agama Budha Mahayana ,serta Sang Hyang Kamahaniyanikan
berhasil digubah kedalam Bahasa Jawa Kuno dari Bahasa Sanksekerta.
Runtuhnya
kerajaan Medang di akibatkan kerajaan Sriwijaya dibantu Raja Wurawuri dari
semenanjung Melayu membalas serangan Dharmawangsa Teguh(1016).
Bukti-bukti
sejarah berupa prasasti-prasasti yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur,
Kerajaan Mataram/Medang juga membangun banyak candi, baik itu yang bercorak
Hindu maupun Buddha.
Didalam
prasasti Sangguran disebut sima kajurugusalyan di Mananjung, karena ada jabatan
juru gusali, yaitu ketua para pandai besi, didalam prasasti Balingawan disebut
sima kamulan.
Didalam
kerajaan Mataram secara khusus menganut suatu landasan kosmogonis yaitu
kepercayaan akan arus adanya suatu keserasian antara dunia manusia ini (
mikrokosmos) dengan alam semesta (mikrokosmos).
B. Saran-saran
1. Kami minta maaf pada pembaca bila
isi makalah kami kurang jelas.
2. Agar kita pahami sebab
perpindahan Kerajaan Medang lebih luas kita harus membaca lebih banyak.
3. Supaya lebih banyak tahu tentang
Kerajaan Medang kita harus banyak bertanya.
*-*
**Salam Pendidikan*
**Jangan pernah putus asa dalam menghadapi apapun*
goblok
BalasHapus